SMART Market

Inspiring for Smart Investing

Yunani Perlu Segera Lakukan Reformasi Ekonomi

JAKARTA–MICOM: Persoalan fiskal yang membelit Yunani seakan menjadi momok yang menghantui perekonomian Eropa, khsusnya kelompok Uni Eropa sepanjang 2010-2011. Berbagai solusi atau program penyelamatan sudah diupayakan, baik oleh IMF, World Bank, maupun KTT Uni Eropa akhir Oktober lalu. Namun tampaknya setiap solusi tidak menyelesaikan masalah secara tuntas bahkan sebaliknya berpotensi menciptakan berbagai persoalan keuangan baru.

“Persoalan utang Yunani yang di ambang default ini tentu saja akan menyeret kepentingan para stake holder negara tersebut, terutama yang memiliki eksposure yang tinggi dengan Yunani. Sejauh ini Perancis dan beberapa negara Eropa Barat akan mengalami masalah keuangan serius jika masalah utang Yunani tidak terselesaikan dengan komprehensif,” kata Direktur Riset Ekonomi dan Keuangan Sabang-Merauke Circle (SMC) Perdana Wahyu Santosa melalui rilis yang diterima, Kamis (3/11).

Masalah keuangan Yunani, kata dia, adalah masalah klasik fiskal yang tidak proporsional antara pertumbuhan ekonomi (PDB) dengan peningkatan utangnya. Jelas itu masalah yang sangat fundamental. “Solusinya adalah Yunani harus mampu meningkatkan pendapatan melalui pertumbuhan ekonomi wajar dan sehat sekaligus terus melakukan efisiensi (peghematan) pengeluaran (expenditure). Jelas ini sangat sulit dilakukan Yunani, mengingat akumulasi pertumbuhan PDB minus 15% dalam 3 tahun terakhir,” paparmnya.

Maka, lanjutnya, peningkatan pendapatan fiskal hanya dapat dilakukan dengan menigkatkan setoran pajak. Namun kebijakan tersebut tidak rasional karena mustahil meningkatkan pajak pada saat ekonomi sedang menurun. Yunani dapat juga menjual aset negara namun sensitif secara politik. Di sisi ekspenditur, melakukan pemangkasan gaji dan dana pensiun. “Kebijakan yang tidak popular tersebut terus memicu ketegangan sosial politik yang semakin akut. Dengan demikian Yunani memerlukan reformasi ekonomi segera.”

Selanjutnya, jelas Perdana, kebijakan KTT Uni Eropa berupa write down 50% utang Yunani bukan solusi substansial tetapi justru berisiko sosial-ekonomi tinggi. Kebijakan tersebut jelas akan melukai pemegang obligasi Yunani, terutama beberapa investment bankers dari Perancis dan sebagian Eropa Barat. Sejauh ini pemegang obligasi sudah me-write off 20-23% utang Yunani. Bahkan terbuka kemungkinan hair cut hingga 75-80% dan peningkatan jumlah write off yang membuat perbankan menggelepar.

“Tentu akan banyak bank besar Eropa yang kolaps karena sebagian besar pemegang obligasi sampah tersebut. Kebangkrutan bank-bank besar tentu harus disertai dengan rekapitalisasi yang masif dan belum tentu bank mampu secara finansial. Maka negaralah yang harus merekapitalisasinya karena jika tidak akan menimbulkan kecemasan nasabah yang memicu penarikan kas dalam jumlah besar,” urainya.

Selanjutnya, referendum Yunani dinilai para analis dan investor, berpotensi besar menggagalkan kesepakatan KTT Eropa lalu dalam upaya penyelamatan ekonomi Yunani dari kebangkrutan total. “Referendum dinilai sebagai upaya Yunani untuk memilih opsi default yang akan menghancurkan banyak pemegang obligasi terutama perbankan Eropa,” cetusnya. (OL-8)

http://www.mediaindonesia.com/read/2011/11/03/273515/20/2/Yunani-Perlu-Segera-Lakukan-Reformasi-Ekonomi

November 5, 2011 Posted by | Economic Review, Economic Trends | , , , , , , | Leave a comment

Jeratan Sistem Ekonomi Ketidakadilan dan Tanpa Nilai Tambah

12 October 2011


 Masalah utama yang tengah melilit perekonomian Indonesia salah satunya adalah bagaimana kita dapat keluar dari jeratan sistem ekonomi nasional yang tidak memberikan nilai tambah. Tiadanya nilai tambah tersebut disebabkan oleh kondisi yang tidak menguntungkan yang membuat Indonesia tidak dapat maju setara dengan negara-negara maju lainnya. Kondisi atau sumber pokok permasalahan tersebut adalah ketidakadilan sistem perekonomian negara maju lewat berbagai Multinational Company-nya dalam mengeksploitasi kekayaan alam kita. Kondisi tersebut dimanifestasikan melalui paradigma atau cara pandang semasa jaman kolonial dalam mengelola kekayaan alam kita seperti minyak dan gas alam dan mineral dan batu bara, misalnya. Tanpa perlu menganalisis terlalu dalampun, kita sudah dapat memprediksi bahwa posisi Indonesia selalu lemah dan dilemahkan secara sistematis oleh perusahaan pertambangan raksasa.

Paradigma kolonial yang kita anut tersebut memberikan situasi an sich bahwa bangsa  dan kekayaan alamnya ini memang sepantasnya hanya menjadi subordinasi negara-  negara barat saja. Sejarah kolonial menunjukkan bahwa penguasaan kapital ekonomi dan  politik itu dilakukan melalui okupasi langsung. Pada umumnya melalui pendekatan  (kekerasan) fisik dan atau militer. Sejarah mencatat sebagai “penjajahan”. Namun pada  era kini, kapitalisasi ekonomi dan politik dilakukan melalui berbagai perjanjian dan  kontrak yang membuat Indonesia tidak berdaya. Seolah-olah paradigma ketidakadilan  tersebut sudah menjadi acuan standar dalam sistem perekonomian nasional.

Situasi tersebut diperparah dengan paradigma ekonomi dan politik kolonial lainnya yaitu negara industri maju berhak mengolah bahan mentah (komoditas) menjadi barang jadi (finish goods) siap pakai, sementara negara kita yang kaya akan sumber daya alam hanya menjadi pengekspor komoditas belaka. Dengan demikian keuntungan ekonomi yang sangat besar dari nilai tambah sama sekali tidak dinikmati oleh bangsa kita. Selanjutnya kita menjadi pengimpor barang jadi siap pakai tersebut yang bahan baku (raw material)nya berasal dari alam kita sendiri dengan harga berlipat ganda. Maka apabila pola hubungan kontrak karya semacam ini terus dibiarkan akan sangat sulit bagi Indonesia untuk mencapai kesetaraan dengan negara-negara maju tersebut.

Atas dasar pemikiran di atas, maka sudah saatnya kita merumuskan langkah besar bahkan radikal namun strategis intergratif yang membutuhkan keberanian para pemimpinnya. Hal ini sangat krusial untuk segera dilakukan agar haluan nalar ekonomi politik kita tidak menjadikan potensinya menjadi subordinasi kepentingan para kapitalis belaka. Tanpa perubahan paradigma dan keberanian pemimpin maka jangan harap Indonesia menjadi negara yang lebih mandiri. Mandiri yang dimaksud bukanlah dalam arti terpisah atau terkucil dari arsitektur ekonomi global atau tidak membutuhkan bangsa-bangsa lainnya. Sikap mandiri yang dikembangkan adalah sikap mental dan pola pikir bahwa kita sebagai bangsa yang besar dan kaya tidak boleh bergantung apalagi terjajah oleh negara maju sehingga hanya menjadi “cash cow” belaka.Semoga Indonesia lebih baik…

Perdana Wahyu Santosa

October 18, 2011 Posted by | Economic Review | Leave a comment