SMART Market

Inspiring for Smart Investing

Krisis Global 2011: Antara Peluang dan Ancaman?

Dampak krisis ekonomi global telah membuat semua indeks pasar finansial dunia meradang mengikuti Wall Street. Korelasi yang tinggi antara Wall Street melalui Dow Jones atau S&P Indes dengan indeks global memang sangat signifikan dan tinggi. Hal itu berlaku baik saat normal maupun krisis. Namun situasi fluktuatif dengan volatilitas yang tinggi di BEI diharapkan hanya bersifat temporari saja. Volatilitas indeks pasar finansial tersebut menggambarkan ketidakpastian ekonomi AS dan Eropa yang menimbulkan respon cepat terkadang kepanikan investor global. Namun seiring dengan waktu, limpahan likuiditas pasar ditambah dana super besar dari QE3 akan mencari instrumen dan pasar yang lebih prospektif. Salah satunya adalah Bursa Efek Indonesia dan sebagian bursa di Asia lainnya.

Disebabkan kurangnya pilihan investasi lain dan terbatasnya pilihan yang lebih propektif maka Indoensia diyakini akan dibanjiri dana investasi kembali baik portofolio maupun foreign direct investment (FDI). Arus dana akan terus membanjiri Indonesia sepanjang pemulihan ekonomi AS dan Eropa masih belum menjanjikan investor. Diprediksi capital inflow akan masuk hingga 2015. Pilihan portofolio akan membuat IHSG kembali menguat bahkan berpotensi menciptakan risiko penggelembungan nilai aset (bubble). Hal ini disebabkan struktur pasar finansial kita yang kurang baik dan tidak sehat. Dana asing (capital inflow) dikhawatirkan akan masuk hanya pada saham-saham atau aset (saham) tertentu saja yang nilai pasarnya sudah jauh di atas nilai wajar (fundamentalnya). Hal ini, salah satunya dipengaruhi oleh konsep market microstructure yang kurang optimal dan kualitas pengawasan yang rendah dari Bapepam-LK.

Untuk mengurangi bubble effect yang membuat efisiensi BEI turun tersebut maka pemerintah maupun swasta diharapkan dapat memanfaatkan momentum banjir dana tersebut dengan optimal, aman dan nyaman. Bagaimana caranya? Salah satu cara terbaik pemerintah adalah segera menyiapkan 20-30 BUMN yang memiliki future growth opportunity tinggi untuk go public atau IPO, terutama sektor infrastruktur, logistik, dan keuangan. Dengan menyiapkan IPO tersebut diharapkan dana asing terserap secara efisien dan efektif untuk pengembangan bisnis BUMN tersebut sekaligus mentransformasikan hot money menjadi warm money. Maka akan banyak proyek-proyek pemerintah yang dapat dikerjakan untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional. Namun sejauh ini upaya Kemeneg BUMN untuk IPO masih rendah karena hanya 1-2 BUMN saja yang mampu melakukan IPO dalam waktu dekat.

Krisis utang AS dan Eropa memang mengancam BEI, namun itu hanya dalam jangka pendek saja. Diprediksi ancaman krisis tersebut hanya sekitar 6-9 bulan ke depan saja. Namun dalam jangka menengah panjang, merupakan peluan besar bagi Indonesia untuk menampung dana dari AS dan Eropa tersebut. Bukan hanya SUN tetapi juga pasar modal. Sekarang semua tergantung kepada kesiapan pasar finansial kita tentunya. Mungkin hanya beberapa swasta nasional dan BUMN yang siap bersaing mendapatkan dana asing yang murah dan mudah tersebut.

Maka dapat diprediksi dengan struktur pasar modal yang begitu rentan terhadap ekses likuiditas eksternal ditopang kapasitas ekonomi nasional yang mudah overheating, maka akan memicu berbagai masalah moneter baru. Sementara di tingkat regional Asia perekonomian China yang selama 5 tahun terakhir tumbuh pesat juga berpotensi mengalami penggelembungan nilai aset pasar finansialnya. Salah satu indikatornya adalah meroketnya harga properti di China. Sedangkan pada tingkat global, ketidakpastian masih begitu tinggi dengan berbagai kejutan yang tidak diharapkan pasar. Ketidakpastian solusi krisis utang Eropa semakin membuat outlook ekonomi global pada 2012 diprediksi suram. Hal ini semua akan memberikan imbas risiko investasi yang sulit diprediksi pada pasar finansial Indonesia. Pemerintah dan BI harus terus waspada menggunakan protokol teknikal yang ada serta anggaran yang memadai untuk meredam fluktuasi hingga 15% dalam periode 3 bulan.

Perdana Wahyu Santosa

October 9, 2011 Posted by | Economic Trends, Market Outlook & Trends | 1 Comment

In the early stages of the cycle

The market retreated 9% in May. These losses, although painful, largely reflect excessive concerns surrounding the debt crisis in Europe, but also the uncertainty created by the resignation of Indonesia’s Finance Minister.  So with these concerns easing, greater opportunities shall come. Most crucially of all, the economy is doing well and is even expanding at its fastest pace since the 2008 crisis – although still below the very fast growth pace at its peak in 1995 – supported by benign inflation and record low interest rates. Manufacturing is strong and the Manufacturing Index rose an impressive 5% in 1Q10 YoY – its largest increase since 1Q08. Exports are at a decade high. Fiscally, things are in good shape and the Debt-to-GDP ratio has fallen to only 28%. Bank lending has been prudent with loans growth of 21% p.a. over the last 5 years. All in all, we believe the economy is in an early stage of a 7-year cycle, meaning strong earnings growth to come. On the political front, there are inevitably some frictions from time to time, but huge gains in achieving political stability have been made. Using a bottom-up approach, we arrive at a new index target of 3,193, implying 15.5x 2010 PER. As we will argue later, there is upside to this target, stemming from the anticipated economic expansion which will surely lead to earnings upgrades.

May 2010, source: Danareksa

May 31, 2010 Posted by | Hot Issue, Indonesia Economic, Market Analysis, Market Outlook & Trends, Momentum Investing, News & Information, Stock Market | 1 Comment

Review dan Prospek Pasar Modal 2010

Perdana Wahyu Santosa


Review 2009: Flying High Again

Awal tahun 2009 lalu pasar modal BEI didera    penurunan luar biasa tajam akibat kecemasan  mendalam akan kehancuran ekonomi global yang  berawal dari krisis subprime mortgage di AS dan sebagian Eropa. Krisis instrumen derivatif berlandaskan aset KPR berkualitas rendah tersebut menjalar begitu cepat sekaligus sangat dahsyat. Hampir semua pasar modal baik emerging market ataupun pasar yang sudah efisien mengalami kejatuhan luar biasa. Tingkat kejatuhan pasar modal global mencapai kisaran 60-80%. Krisis tersebut menghapus sebagian besar kekayaan para investor kakap yang telah berinvestasi selama satu dekade. Dari rakyat biasa hingga para analis keuangan, ekonom sampai dengan petinggi negara membicarakan krisis ekonomi disertai bumbu politik, anti-kapitalisme, neo-liberalisme, dan berbagai penyedap lainnya sesuai dengan motif masing-masing kelompok. Perekonomian dan pasar finansial berada pada kondisi yang rentan dan penuh ketidak-pastian tanpa gairah pada saat itu, plus kerawanan isu sosial politi jelang pemilu pada paruh pertama 2009.

Namun orang bijak menatap dengan cara lain, katanya setiap krisis akan menciptakan berbagai peluang bisnis dan investasi. Ketika pasar modal BEI terjungkal hebat hingga level 1.100 an per Januari 2009, dunia seolah terbalik dimana investor kaya menjadi “miskin” dan terbuka peluang besar bagi para investor baru “newbie” untuk menjadi kaya. Investor baru dapat masuk pada saat harga-harga saham terdiskon sangat rendah akibat krisis ekonomi dan panic selling yang berlebihan. Ini jelas peluang langka. Untuk mendapatkan peluang investasi sebaik ini mungkin harus menunggu selama kurun 10 tahun lagi. Situasi saat itu dapat disebut maximum investment opportunity. Namun, peluang berharga tersebut kurang dimanfaatkan akibat rasa takut dan dampak psikologis yang dalam akibat kejatuhan pasar finansial dunia.

Hal tersebut dapat dimaklumi, Lehman Brothers, AIG, Citigroup, JP Morgan dan sederet manajer investasi kelas dunia saja terkapar tak berdaya dihantam badai subprime mortgage tersebut. Namun kita harus memahami, bahwa fenomena tersebut hanyalah sebuah siklus yang terus berputar dari masa ke masa. Setelah mengalami krisis, kembali pasar finansial mengalami booming, kemudian kembali didera krisis dan seterusnya.

Pertumbuhan indeks pasar BEI yang cukup baik dimulai 2006,hingga 2007 dan paruh pertama 2008. Setelah naik 55,3% pada tahun 2006, dan naik lagi 52,1% pada tahun 2007, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menurun 50,7% selama tahun 2008. Memasuki kuartal III 2008, pasar finansial global mulai limbung dan hancur pada kuartal terakhir 2008. Sampai paruh pertama 2008, BEI mencetak rekor dalam sejarah hingga level 2830. Kejatuhan BEI disebabkan karena keluarnya hot money besar-besaran terutama pada kuartal terkahir 2008 akibat kecemasan dampak krisis global.  Selanjutnya pada paruh pertama 2009 indikator ekonomi makro Indonesia yang cukup kuat dari terpaan krisis global dengan PDB sekitar 4,3% tersebut membuat pasar kembali memasuki wilayah optimis sekalipun senantiasa dibayangi berbagai kecemasan akan pemulihan ekonomi global yang belum jelas.

Akhirnya jelang kuartal kedua 2009, IHSG kembali menujukkan kekuataannya dan berhasil up trend luar biasa hingga 50,1% pada akhir semster 2 tahun 2009. Serta merta peguatan IHSG diikuti oleh menguatnya nilai tukar IDR terhadap USD menjadi sekitar Rp. 10.200/USD pada akhir Juni 2009 setelah sempat terpuruk hingga Rp. 12.000/USD pada Desember 2008. Pemulihan tersebut juga didorong oleh penurunan tingkat suku bunga BI (BI rate) dari 9,5% hingga 6,5% saja secara periodik. Penguatan IHSG terus berlanjut pada kuartal 3, bahkan berhasil menembus level psikologis 2000 dengan mulus disertai penguatan IDR/USD pada kisaran Rp. 9500-10.000/USD.

Memasuki kuartal terkhir 2009, para investor semakin percaya diri bahkan cenderung over confidence terhadap prospek investasinya. Hal tersebut, membuat IHSG kembali terbang tinggi menembus level wajarnya di 2250. Bahkan pada November dan Desember 2009, IHSG berkali-kali menembus level keramat 2500. Namun, para investor nampaknya belum berani melangkah terlalu jauh sehingga pada kuartal terkhir 2009 IHSG berfluktuasi pada kisaran 2400-2500 an. Bayangkan, pada 31 Desember 2009, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) telah bertengger di atas evel 2.500 atau tumbuh sekitar 85,86%. Ini berarti IHSG sudah kembali normal hanya dalam satu tahun saja. Namun hal yang mencemaskan adalah kenaikan harga crude oil dunia yang mencapai level USD 78,76/barrel. Kenaikan harga minyak mentah dunia tersebut lebih disebabkan aktivitas spekulasi dari pada proses supply-demand.

Prospek 2010: Flying Over High atau Profit Taking?

Apakah suasana keceriaan di BEI pada akhir 2009 ini akan berlanjut pada 2010 nanti? Apakah IHSG akan terus terbang lebih tinggi lagi di 2010? Tentu saja itu harapan kita semua. Ada baiknya jika kita mengacu kepada prospek indikator ekonomi makro Indonesia dan global pada umumnya. Sekalipun, secara psikologis, IHSG akan terus mencoba menembus level tertingginya di 2830 pada awal kuartal pertama 2010 nanti. Tendensi “pemecahan rekor tertinggi” ini tampaknya cukup kuat dan beralasan.

Jika kita mengacu pada prospek perekonomian nasional di 2010, yaitu angka pertumbuhan ekonomi 2010 oleh beberapa ekonom dan lembaga riset terpandang dipatok sekitar 5-6%. Bahkan ada yang memprediksi di atas 6%. Hal ini tentunya merupakan alasan kuat bagi para investor untuk kembali menanamkan dananya di BEI selama 2010. Secara umum, jika perekonomian dapat tumbuh 1%, maka dibutuhkan dana investasi sekitar 4,5% dari APBN. Maka untuk tumbuh sekitar 5,5% dapat dihitung secara kasar jumlah dana investasi yang diperlukan untuk mencapainya. Tentu saja pemerintah harus berupaya maksimal dan fokus untuk menciptakan situasi kondusif bagi para investor asing dan swasta nasional agar dana investasinya dapat bertahan lebih lama di Indonesia. Sedangkan untuk menarik dana besar dari investor asing, tentunya peranan pasar modal sangat penting.

Di samping itu, masuknya dana asing akan membuat rupiah semakin kuat dan stabil dalam mendukung pertumbuhan ekonomi 2010. Jumlah modal yang dibutuhkan para emiten juga semakin besar untuk dapat menangkap peluang bisnis di 2010 tersebut sehingga pasar modal akan diwarnai berbagai aksi korporasi untuk menjaring dana segar dari masyarakat. Di samping itu, jumlah emiten baru yang prospektif ditargetkan otoritas BEI sekitar 25 emiten. Ini berarti dalam setiap bulan akan ada initial public offering (IPO) sebanyak 2 emiten. Situasi tersebut merupakan peluang tambahan yang dapat dimanfaatkan para investor di 2010.

Indikator ekonomi makro seperti inflasi dinilai akan stabil pada kisaran 6,5-7% sedangkan BI rate akan dipatok untuk menjaga situasi ekonomi yang kondusif pada kisaran 7-7,5%. Kedua indikator penting tersebut memberikan harapan yang sangat bagus bagi investor dan pelaku ekonomi riil. Nilai tukar IDR/USD diestimasi berada pada level Rp. 9200-9600/USD.

Beberapa lembaga keuangan dunia juga memberikan target IHSG yang menjanjikan. Pada umumnya mereka mentargetkan IHSG di atas 3000 an dengan berbagai asumsi dan metode analisisnya. Melihat situasi tersebut, tampaknya IHSG akan flying over high dan memberikan imbal hasil yang baik bagi pelaku pasar.

How high can you go, IHSG?

Adalah pertanyaan mendasar di 2010, betapa tidak, jika IHSG terlalu tinggi (overvalued) maka konsekuensinya akan rawan anjlok sesaat akibat aksi ambil untung (profit taking) dan mengakibatkan capital outflow dana panas yang dimiliki asing. Hal tersebut wajar terjadi karena kenaikan IHSG selama 2009 sudah melebihi 85% ditambah potensi kenaikan selama 2010. Sikap overconfidence dari para investor diprediksi akan mewarnai transaksi saham di BEI terutama pada saham blue chips. Namun secara umum, indikator price earning ratio (PER) IHSG masih berada pada tahap aman.

PER IHSG masih tergolong murah dibandingkan dengan PER beberapa negara seperti China dan India. Apabila dibandingkan dengan PER rerata historis IHSG, yaitu sekitar 35x sehingga  tingkat IHSG saat ini masih undervalued. Temuan ini juga merupakan peluang investasi yang cukup baik di 2010. Bersikaplah cerdas dan bijak di tahun macan yang penuh keberanian ini namun takutlah saat mayoritas investor menjadi tamak.

Salam SMART Market…

January 17, 2010 Posted by | Economic Trends, Investment Guide, Investment Tips, Market Outlook & Trends | , , | Leave a comment

Data Manufaktur dan Tenaga Kerja Memburuk, Wall Street Kian Terpuruk

(Vibiznews – Index) – Wall Street pada perdagangan hari ini (03/10) kembali berakhir melemah, dipicu oleh sentimen negatif dari sejumlah indikator ekonomi termasuk factory orders dan data tenaga kerja. Dow Jones melemah 21.61 poin, atau 0.23% ke level 9,487.67; S&P 500 merosot 4.64 poin atau 0.45% ke level 1,025.21; dan Nasdaq turun 9.37 poin atau 0.46%, ke level 2,048.11. Pekan ini, artinya Dow Jones merosot 1.8%, S&P 500 melemah 1.8%, dan Nasdaq anjlok 2%.

Sentimen negatif pertama kali datang dari data manufaktur yakni factory orders yang di luar dugaan melemah 0.8% pada bulan Agustus, setelah kemarin ISM manufaktur juga merosot. Sementara itu, sentimen negatif utama datang dari laporan bahwa perekonomian pada bulan September telah kehilangan 263,000 tenaga kerja, dan tingkat pengangguran melejit menjadi 9.8%. GE menjadi top loser pada Dow Jones, anjlok 3.82% ke level $15.36 setelah dilaporkan sedang bernegosiasi dengan Comcast yang akan membeli unit NBC Universal milik GE. Comcast juga melemah 2.7% ke level $15.24. Saham industrial lainnya juga melemah tajam, seperti Boeing turun 1.36% ke level $51.40 dan Caterpillar merosot 1.25% ke level $48.83. Sementara itu, saham CIT Group melejit hingga 10.4% ke level $1.17 menyusul berita bahwa merka akan meluncurkan rencana pertukaran utang demi menghindar dari kebangkrutan.

Menurut analisa dari Divisi Vibiz Research di Vibiz Consulting, pergerakan bursa AS dalam waktu dekat masih berpotensi untuk melemah, seiring dengan indikator ekonomi yang belum stabil , sehingga mengakibatkan investor untuk ragu terhadap pemulihan perekonomian. Rinella Putri/RP/vbn

October 3, 2009 Posted by | Market Analysis, News & Information, Stock Market | Leave a comment

Gobal Market Review dan Outlook 2009: Lower Outlook, Best Investment Opportunity

PERDANA WAHYU SANTOSA

feature_recession2Krisis finansial di AS yang dipicu oleh kegagalan subprime mortgage terus meluas dan belum menunjukkan indikator pemulihan yang berarti. Krisis ekonomi menjalar ke sektor vital seperti industri otomotif AS yang dimotori oleh tiga raksasa otomotif: General Motor Company, Ford Motor Company dan Chrysler Corp yang menyatakan diri memerlukan dana bailout dari pemerintah AS. Bursa Wall Street jatuh karena kasus potensi bangkrut perusahaan ini memicu kekhawatiran ekonomi AS yang semakin melemah. Goldman Sachs dan Merrill Lynch juga melaporkan kerugian besar pada 3Q08 setelah kebangkrutannya beberapa bulan lalu.

Melemahnya ekonomi AS juga telah menular ke Eropa dan Asia, terutama Jepang. Pertumbuhan GDP negara-negara G7 juga semakin menurun. Untuk 3Q08; Kanada hanya tumbuh +0,29%, Jerman turun -0,52%, Perancis naik +0,14, UK -0,49%, Italia mengalami penurunan terburuk -0,52%, Jepang jatuh -0,46%, sementara AS sendiri juga turun -0,13%. Buruknya pertumbuhan GDP ini akan terus berlanjut sampai akhir semster 1, 2009 dan World Bank memperkirakan pertumbuhan ekonomi global hanya sekitar 0,9% saja.

Wall Street sendiri mengalami fluktuasi terus menerus dan masih sulit keluar dari situasi bearish. Indeks Dow Jones masih berkutat pada trading range 7.900-8.850 sepanjang 4Q08. Dow Jones masih mengalami kesulitan keluar dari wilayah bawah karena terus menerus harus merespon berita negatif yang masuk ke pasar. Buruknya indikator ekonomi maupun dampak pasca kerugian perusahaan dunia membuat indeks Dow Jones terus berada di bottom level-nya. Pelaku pasar tampaknya masih terus menganalisis berbagai data ekonomi 4Q08 dan terus mencermati pasar yang belum menunjukkan pemulihan berarti.

Memburuknya krisis ekonomi di AS memberikan dampak yang semakin serius di Asia, terutama ekonomi Jepang dan sebagian besar perekonomian di regional Asia. Profil risiko di negara Asia juga semakin meningkat dan kondisi likuiditas semakin ketat akibat berkurangnya kepercayaan di berbagai pasar di Asia. Indeks Nikkei di TSE mengalami penurunan yang tajam, bahkan terburuk dalam 5 tahun terakhir dimana pada pertengahan Desember, berada pada posisi 8.235 setelah sebelumnya sempat berada di bawah level 8.000 disertai turunnya nilai transaksi di bursa. Indeks Hang Seng juga mengalami penurunan terburuk sepanjang 2008 yaitu sekitar 62,92%, bahkan diprediksi dapat terus turun tergantung harga komoditas terutama crude oil.

Asian Development Bank (ADB) merilis prediksinya mengenai inflasi di negara-negara Asia untuk 2008 dan 2009, masing-masing dari sebelumnya 5,1% dan 4,6% menjadi 7,8% dan 6%. Outlook ekonomi negara-negara Asia untuk 2008 dan 2009 juga dipangkas ADB menjadi 7,7% dan 7,2%. GDP Indonesia sendiri diprediksi tumbuh pada kisaran 4,5% saja untuk periode 2009. Namap un Asia masih dapat berharap kepada kekuatan ekonomi China dan India yang terlihat tangguh dalam terpaan krisis global ini dengan estimasi pertumbuhan GDP sekitar 6-7% pada 2009 ini.

Penurunan harga minyak mentah (crude oil) dunia semakin dalam. Pada medio Desember 2009, harga minyak bahkan sudah menembus level psikologisnya USD40/barrel dan mencatatkan rekor terendah baru USD37,19/barrel. Beberapa skenario terburuk menyatakan bahwa trend harga minyak mungkin akan turun sampai USD25/barrel. Apabila skenario ini terjadi, maka bursa saham global akan mengalami penurunan berikutnya; indeks Dow Jones dapat berada pada level 7.000, dan bursa global akan mengikuti Wall Street. Para investor perlu dengan cermat mengamati pergerakan harga minyak ini.

Per 18 Desember 2008, OPEC memutuskan untuk memotong produksi 2,2 juta barrel per hari (bph), dan tindakan ini akan terus disesuaikan dengan pergerakan harga minyak dunia. Idealnya harga crude oil berkisar antara USD60-70/barrel sehingga diharapkan memicu pemulihan ekonomi yang cepat dan seimbang untuk menggairahkan pasar global.

Indonesia Market Outlook 1Q09-2Q09

Memasuki 2009, terdapat beberapa faktor yang perlu diwaspadai selain faktor-faktor fundamental perekonomian global di atas. Pertama, kondisi perekonomian AS, Eropa dan Jepang yang masih belum menentu. Kedua, belum stabilnya harga crude oil yang semakin volatile yang diikutii harga komoditas lainnya di bottom level nya. Menurut analisis supply-demand yang dilakukan CAPITAL PRICE tehadap komoditas minyak mentah ini kisaran harga minyak akan berada pada USD 40–USD 55/barrel pada kuartal I 2009 dan USD 60-70 pada kuartal II 2009.

Ketiga, potensi PHK masal yang mencapai 2-3 juta orang pada kuartal 1 dan 2, 2009 dan membutuhkan stimulus ekonomi bagi sektor riil. Keempat, kekhawatiran krisis sosial-politik pada Pemilu 2009 menjelang akhir 1Q09 dan 2Q09 akan menguat jika ada pihak-pihak mempolitisasi krisis ekonomi menjadi krisis sosial-politik. Kelima, menurunnya kinerja laporan kuartalan 1Q09 dan 2Q09 para emiten BEI terutama sektor perkebunan, pertambangan, properti, otomotif, perbankan dan lainnya. Nilai EPS saham-saham akan menjadi sangat rendah dan PER BEI akan berada di bawah 10x.

Permasalahan likuiditas makro yang ketat juga akan membuat ekonomi cenderung lesu, dan BEI akan kekurangan likuiditas sampai indikator makroekonomi menunjukan sinyal positif yang mampu memancing kepercayaan asing untuk masuk. Memang terdapat beberapa lonjakan IHSG akhir-akhir ini, namun belum disertai kenaikan volume yang memadai. Masalah likuiditas ini akan terus merongrong BEI sepanjang 1Q09 dan 2Q09 sehingga kenaikkan IHSG banyak menemui kendala.

Kabar baiknya adalah; dengan turunnya harga BBM, inflasi akibat dorongan biaya akan mereda. Dengan demikian, suku bunga di tahun 2009 berpotensi menurun menuju 8%. Sektor perbankan akan sedikit menggeliat mulai 2Q09 karena penurunan suku bunga patokan. Kendati begitu, turunnya BI rate bukan jaminan turunnya bunga kredit ke level terendah seperti terjadi pada awal tahun 2008. Pertumbuhan kredit perbankan sebagai akibat stimulus perekonomian di tahun 2009 menurut kami hanya mampu mencapai angka 10-15% sepanjang 2009 nanti. Pasalnya, krisis keuangan akan meningkatkan potensi kredit macet, penurunan daya beli, dan pemangkasan kapasitas produksi para debitornya.

Debt market termasuk SUN akan sedikit menggeliat dengan naiknya harga obligasi akibat turunnya BI rate. Yield-to-maturity SUN jangka menengah dan panjang berpotensi turun ke level 9%-11% di tahun 2009. Penurunan BI rate akan terus berlanggsung sepanjang angka inflasi terus turun atau bahkan deflasi karena rendahnya daya beli masyarakat. Ini membuat Debt market akan terus mempunyai harapan yang baik.

Sektor yang perlu dicermati terkait potensi turunnya harga minyak dunia adalah sektor berbasis komoditas dan pertambangan. Komoditas mining sangat tergantung harga minyak dunia dan mempunyai korealsi yang tinggi terutama metal dan CPO. Sektor konstruksi kemungkinan akan turun 30% sekalipun rencana pemerintah mengalokasikan dana besar untuk proyek infrastruktur skala nasional diiringi harapan BI rate yang terus turun.

Imbas dari proyek infrastruktur membuat emiten sektor semen masih dapat bertahan karena konsumsi semen yang relatif tetap dibarengi penurunan harga BBM dan batubara yang cukup besar sehingga efisiensi biaya produksi meningkat disertai ekspansi produksi mendekati economies of scale-nya. Sektor consumer goods sebagai defensive sector diperkirakan masih tetap bertahan terhadap terpaan krisis dan kinerja keuangannya tidak akan turun signifikan.

Namun demikian, kesuramam pasar modal ini diharapkan hanya berlangsung sementara, khususnya di 1Q09. Kuartal kedua (2Q09) akan mulai memperlihatkan konsolidasi untuk siap-siap mengalami tren naik dengan tetap memperhaitkan kinerja laporan keuangan, sehingga baru pada 3Q09, prospek pemulihan diprediksi akan mulai menemukan indikator positif fundamentalnya.

Kondisi krisis keuangan global ini justru menciptakan peluang besar bagi investasi jangka panjang (long-term investment) karena harga saham di peralihan tahun 2008-2009 relatif murah, dan pospek bisnis beberapa tahun ke depan yang sangat baik. Pergerakan jangka panjang IHSG akan kembali memberikan return normal sekitar 15%-20% per tahun, bahkan lebih untuk beberapa sektor tertentu seperti perkebunan dan pertambangan seiring dengan pertumbuhan harga komoditas dan meningkatnya nominal GDP Indonesia.

Skenario outlook ini tergantung kepada seberapa cepat ekonomi global khusunya AS, Eropa dan Jepang dapat pulih kembali dan kenaikan harga crude oil dan komoditas andalan lainnya.

Artikel ini pernah dimuat harian Bisnis Indonesia dan menjadi materi Talk Show di PAS FM pada 5 Januari 2009

Perdana Wahyu Santosa – Chief Knowledge Officer CAPITAL PRICE
Research Center for Capital Market, Portfolio Investment, Corporate Finance and Economics

January 21, 2009 Posted by | Market Analysis | Leave a comment