SMART Market

Inspiring for Smart Investing

Jeratan Sistem Ekonomi Ketidakadilan dan Tanpa Nilai Tambah

12 October 2011


 Masalah utama yang tengah melilit perekonomian Indonesia salah satunya adalah bagaimana kita dapat keluar dari jeratan sistem ekonomi nasional yang tidak memberikan nilai tambah. Tiadanya nilai tambah tersebut disebabkan oleh kondisi yang tidak menguntungkan yang membuat Indonesia tidak dapat maju setara dengan negara-negara maju lainnya. Kondisi atau sumber pokok permasalahan tersebut adalah ketidakadilan sistem perekonomian negara maju lewat berbagai Multinational Company-nya dalam mengeksploitasi kekayaan alam kita. Kondisi tersebut dimanifestasikan melalui paradigma atau cara pandang semasa jaman kolonial dalam mengelola kekayaan alam kita seperti minyak dan gas alam dan mineral dan batu bara, misalnya. Tanpa perlu menganalisis terlalu dalampun, kita sudah dapat memprediksi bahwa posisi Indonesia selalu lemah dan dilemahkan secara sistematis oleh perusahaan pertambangan raksasa.

Paradigma kolonial yang kita anut tersebut memberikan situasi an sich bahwa bangsa  dan kekayaan alamnya ini memang sepantasnya hanya menjadi subordinasi negara-  negara barat saja. Sejarah kolonial menunjukkan bahwa penguasaan kapital ekonomi dan  politik itu dilakukan melalui okupasi langsung. Pada umumnya melalui pendekatan  (kekerasan) fisik dan atau militer. Sejarah mencatat sebagai “penjajahan”. Namun pada  era kini, kapitalisasi ekonomi dan politik dilakukan melalui berbagai perjanjian dan  kontrak yang membuat Indonesia tidak berdaya. Seolah-olah paradigma ketidakadilan  tersebut sudah menjadi acuan standar dalam sistem perekonomian nasional.

Situasi tersebut diperparah dengan paradigma ekonomi dan politik kolonial lainnya yaitu negara industri maju berhak mengolah bahan mentah (komoditas) menjadi barang jadi (finish goods) siap pakai, sementara negara kita yang kaya akan sumber daya alam hanya menjadi pengekspor komoditas belaka. Dengan demikian keuntungan ekonomi yang sangat besar dari nilai tambah sama sekali tidak dinikmati oleh bangsa kita. Selanjutnya kita menjadi pengimpor barang jadi siap pakai tersebut yang bahan baku (raw material)nya berasal dari alam kita sendiri dengan harga berlipat ganda. Maka apabila pola hubungan kontrak karya semacam ini terus dibiarkan akan sangat sulit bagi Indonesia untuk mencapai kesetaraan dengan negara-negara maju tersebut.

Atas dasar pemikiran di atas, maka sudah saatnya kita merumuskan langkah besar bahkan radikal namun strategis intergratif yang membutuhkan keberanian para pemimpinnya. Hal ini sangat krusial untuk segera dilakukan agar haluan nalar ekonomi politik kita tidak menjadikan potensinya menjadi subordinasi kepentingan para kapitalis belaka. Tanpa perubahan paradigma dan keberanian pemimpin maka jangan harap Indonesia menjadi negara yang lebih mandiri. Mandiri yang dimaksud bukanlah dalam arti terpisah atau terkucil dari arsitektur ekonomi global atau tidak membutuhkan bangsa-bangsa lainnya. Sikap mandiri yang dikembangkan adalah sikap mental dan pola pikir bahwa kita sebagai bangsa yang besar dan kaya tidak boleh bergantung apalagi terjajah oleh negara maju sehingga hanya menjadi “cash cow” belaka.Semoga Indonesia lebih baik…

Perdana Wahyu Santosa

October 18, 2011 Posted by | Economic Review | Leave a comment

Krisis Global 2011: Antara Peluang dan Ancaman?

Dampak krisis ekonomi global telah membuat semua indeks pasar finansial dunia meradang mengikuti Wall Street. Korelasi yang tinggi antara Wall Street melalui Dow Jones atau S&P Indes dengan indeks global memang sangat signifikan dan tinggi. Hal itu berlaku baik saat normal maupun krisis. Namun situasi fluktuatif dengan volatilitas yang tinggi di BEI diharapkan hanya bersifat temporari saja. Volatilitas indeks pasar finansial tersebut menggambarkan ketidakpastian ekonomi AS dan Eropa yang menimbulkan respon cepat terkadang kepanikan investor global. Namun seiring dengan waktu, limpahan likuiditas pasar ditambah dana super besar dari QE3 akan mencari instrumen dan pasar yang lebih prospektif. Salah satunya adalah Bursa Efek Indonesia dan sebagian bursa di Asia lainnya.

Disebabkan kurangnya pilihan investasi lain dan terbatasnya pilihan yang lebih propektif maka Indoensia diyakini akan dibanjiri dana investasi kembali baik portofolio maupun foreign direct investment (FDI). Arus dana akan terus membanjiri Indonesia sepanjang pemulihan ekonomi AS dan Eropa masih belum menjanjikan investor. Diprediksi capital inflow akan masuk hingga 2015. Pilihan portofolio akan membuat IHSG kembali menguat bahkan berpotensi menciptakan risiko penggelembungan nilai aset (bubble). Hal ini disebabkan struktur pasar finansial kita yang kurang baik dan tidak sehat. Dana asing (capital inflow) dikhawatirkan akan masuk hanya pada saham-saham atau aset (saham) tertentu saja yang nilai pasarnya sudah jauh di atas nilai wajar (fundamentalnya). Hal ini, salah satunya dipengaruhi oleh konsep market microstructure yang kurang optimal dan kualitas pengawasan yang rendah dari Bapepam-LK.

Untuk mengurangi bubble effect yang membuat efisiensi BEI turun tersebut maka pemerintah maupun swasta diharapkan dapat memanfaatkan momentum banjir dana tersebut dengan optimal, aman dan nyaman. Bagaimana caranya? Salah satu cara terbaik pemerintah adalah segera menyiapkan 20-30 BUMN yang memiliki future growth opportunity tinggi untuk go public atau IPO, terutama sektor infrastruktur, logistik, dan keuangan. Dengan menyiapkan IPO tersebut diharapkan dana asing terserap secara efisien dan efektif untuk pengembangan bisnis BUMN tersebut sekaligus mentransformasikan hot money menjadi warm money. Maka akan banyak proyek-proyek pemerintah yang dapat dikerjakan untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional. Namun sejauh ini upaya Kemeneg BUMN untuk IPO masih rendah karena hanya 1-2 BUMN saja yang mampu melakukan IPO dalam waktu dekat.

Krisis utang AS dan Eropa memang mengancam BEI, namun itu hanya dalam jangka pendek saja. Diprediksi ancaman krisis tersebut hanya sekitar 6-9 bulan ke depan saja. Namun dalam jangka menengah panjang, merupakan peluan besar bagi Indonesia untuk menampung dana dari AS dan Eropa tersebut. Bukan hanya SUN tetapi juga pasar modal. Sekarang semua tergantung kepada kesiapan pasar finansial kita tentunya. Mungkin hanya beberapa swasta nasional dan BUMN yang siap bersaing mendapatkan dana asing yang murah dan mudah tersebut.

Maka dapat diprediksi dengan struktur pasar modal yang begitu rentan terhadap ekses likuiditas eksternal ditopang kapasitas ekonomi nasional yang mudah overheating, maka akan memicu berbagai masalah moneter baru. Sementara di tingkat regional Asia perekonomian China yang selama 5 tahun terakhir tumbuh pesat juga berpotensi mengalami penggelembungan nilai aset pasar finansialnya. Salah satu indikatornya adalah meroketnya harga properti di China. Sedangkan pada tingkat global, ketidakpastian masih begitu tinggi dengan berbagai kejutan yang tidak diharapkan pasar. Ketidakpastian solusi krisis utang Eropa semakin membuat outlook ekonomi global pada 2012 diprediksi suram. Hal ini semua akan memberikan imbas risiko investasi yang sulit diprediksi pada pasar finansial Indonesia. Pemerintah dan BI harus terus waspada menggunakan protokol teknikal yang ada serta anggaran yang memadai untuk meredam fluktuasi hingga 15% dalam periode 3 bulan.

Perdana Wahyu Santosa

October 9, 2011 Posted by | Economic Trends, Market Outlook & Trends | 1 Comment

Krisis Ekonomi Global Masih Menjadi Ancaman

Krisis Ekonomi Global Masih jadi Ancaman
Ekonomi – / Selasa, 20 September 2011 06:15 WIB

Metrotvnews.com, Jakarta: Dampak krisis keuangan global yang tidak kunjung usai telah memicu kekuatiran ekonomi dunia. Namun dengan limpahan likuiditas yang tinggi dengan penambahan dana super besar dari The Fed bernama Quantitative Easing Three (QE Three), pasar akan mencari instrumen yang lebih prospektif seperti di bursa Indonesia dan Asia lainnya.

Dalam seminar yang diadakan oleh Sabang-Merauke Circle di salah satu hotel di bilangan Jakarta, sejumlah pengamat ekonomi menilai krisis ekonomi global sekarang, cukup berdampak bagi negara berkembang. Tekanan pasar uang Eropa memberikan imbas yang cukup signifikan terhadap pelemahan rupiah.

Perdana Wahyu Santosa, Direktur Riset Ekonomi dan Keuangan SMC, menilai Indonesia hanya memiliki instrumen manajemen protokol krisis ekonomi, yang bisa dijadikan alat peredam terhadap dampak krisis yang berkelanjutan tersebut.

Meski begitu Asia, dan salah satunya Indonesia sebagai emerging market yang prospektif, memiliki kesempatan karena tingginya pertumbuhan GDP, inflasi yang terkendali, disertai meningkatnya nilai aset ekuitas dan obligasi.

Sementara itu, Direktur Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Perry Warjiyo, mengatakan dampak negatif bagi Indonesia terasa di sektor saham. Namun, dampak positif dinilai lebih terasa seperti di obligasi, pasar uang, kredit perbankan, dan perekonomian domestik.

Perry juga mengatakan BI memiliki mandat untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, dan pembelian SBN untuk menjaga agar rupiah tidak membanjiri pasar.(RIZ)

http://www.metrotvnews.com/read/newsvideo/2011/09/20/136266/Krisis-Ekonomi-Global-Masih-jadi-Ancaman

October 1, 2011 Posted by | Uncategorized | , , , | Leave a comment

Ekonomi Global 2012: Darkening Outlook

Perdana Wahyu Santosa

Permasalahan krisis utang ini sebenarnya bukanlah hal baru, karena sejak 2009 mulai melilit beberapa negara Eropa seperti Yunani, Irlandia, Potugal, Italia dan Spanyol. Bahkan kabar terakhir, Perancis pun sudah terindikasi masalah yang sama. Dengan bergabungnya AS kedalam pusaran krisis utang dan defisit anggaran ini, maka diprediksi akan terjadi pelemahan terhadap pemulihan ekonomi global yang terhantam badai subprime mortgage pada 2008 lalu. Masih terbuka kemungkinan lembaga pemeringkat dunia seperti S&P menurunkan peringkat utang negara-negara maju tersebut.

Para pemimpin dunia merespon situasi genting tersebut dengan melakukan beberapa kebijakan tanggap darurat dan berkomitmen untuk mengintervensi pasar sepanjang diperlukan. Bank Sentral Eropa (ECB), BOJ (Jepang) dan lainnya juga menegaskan untuk mengantisipasi kepanikan pasar global. Kebijakan Eropa ini diharapkan membantu The Fed (AS) yang sudah kepayahan karena ruang manuvernya semakin sempit. Namun komitmen Bank Sentral Eropa juga masih diragukan pasar karena dia sendiri sudah terbebani masalah krisis utang anggotanya. Bahkan IMF sendiripun sudah dianggap gagal menyelamatkanYunani. Peringkat utang Yunani pada 2009 adalah A- menjadi “Junk Bond” pada 2011 sekalipun IMF sudah aktif membantu sejak Mei 2010.

Perekonomian AS yang dekade sebelumnya begitu adidaya mulai kehilangan perannya dalam percaturan ekonomi global. Penurunan peringkat utang AS benar-benar menampar kewibawaan AS. Para ekonom dan analis keuangan global, meprediksi bahwa lansekap aristektur keuangan global akan segera bergeser ke Asia seiring melemahnya ekonomi AS danEropa. Meningkatnya kekuatan ekonomi Asia membuat kawasan ini berpotensi menjadi pusat gravitasi ekonomi global yang baru dalam 15-20 trahun mendatang. Hal tersebut didukung bahwa pemberi pinjaman terbesar bagi AS saat ini adalah Jepang dan China.

Perekonomian AS dan Eropa yang sebelumnya dibangun melalui kebijakan industri yang solid dan intergratif plus dukungan teknologi tinggi terbukti mampu menjadi pusat ekonomi global. Namun secara sistematis, kebijakan industri barat mulai tergantikan oleh kebijakan liberalisasi keuangan yang didukung penuh oleh para ekonomnya. Policy makers AS khususnya lebih berusaha meningkatkan daya saing perekonomiannya pada lewat industri keuangan dan meninggalkan kebijakan industrinya. Industri keuangan AS dan Eropa memang dikenal sangat canggih berkembang pesat dan pada akhirnya “menguasai” perekonomian dunia terutama di pasar finansial global. Krisis subprime mortgage pada 2008 lalu, merupakan babak final kejayaan liberalisasi keuangan sekaligus sinyal kuat akan potensi kekacauan ekonomi global di masa depan. Ketidakseimbangan kebijakan industri dan liberalisasi pasar keuangan terutama perdagangan instrumen derivatif telah memicu AS dan Eropa masuk ke dalam kubangan krisis ekonomi yang melelahkan.

Di sisi lain, lembaga pemeringkat melihat potensi pemulihan ekonomi AS semakin lemah apalagi setelah defisit anggarannya dibatasi. Rasio utang terhadap PDB AS sudah hampir 100% juga menunjukkan bahwa perekonomiannya sudah sangat sulit bergerak sehingga prospek pertumbuhannya semakin pesimis. Untuk mengantisipasi kondisi tersebut, kembali The Fed akan segera mengeuarkan Quantitative Easing III (QE3) sebesar USD447 miliar untuk mencoba menstimulus ekonomi AS. Namun menurut saya, QE3 juga tidak benar-benar memberikan harapan positif bagi AS karena kebijakan QE3 tersebut hanyalah sekadar upaya pencegahan agar krisis ekonomi tidak semakin parah dan merambat terlalu cepat. Jadi secara umum, kondisi pemulihan ekonomi AS dan global masih rapuh sekalipun QE3 direalisasikan sepenuhnya dan sebaliknya akan menciptakan overliquidity di pasar global. Limpahan likuiditas tersebut justru berpotensi mengkerek harga komoditas dan emas serta mengalir ke emerging market seperti Indonesia, misalnya.

Sepanjang September 2011, Wall Street diliputi ketidakpastian sehingga bursa AS tersebut kurang bergairah. Indeks Dow Jones turun dan S&P melemah. Ini penurunan terendah sejak 22/08/11 lalu. Salah satu penyebab lesunya pasar modal global adalah masalah krisis utang Yunani yang semakin tidak jelas namun pasar masih sedikit berharap pada pencairan QE3 dan bantuan Jerman. Situasi tersebut diperburuk oleh obligasi Yunani sudah diambang default dan potensi penurunan peringkat utang Eropa.

Melihat kondisi perekonomian AS dan Eropa saat ini, maka wajar jika banyak pihak, baik para analis, periset, ekonom hingga investor masih meragukan pemulihan ekonomi AS dan Eropa dalam waktu singkat. George Soros, kampiun investor global mengatakan bahwa “perekonomian dunia dalam mara bahaya dan akan menimbulkan konsekuensi politik tak terhitung”. Pihak World bank berpendapat bahwa perekonomian Eropa yang parah dan stagnasi ketenagakerjaan di AS mengidikasikan pertumbuhan ekonomi yang pesimis. Hal ini terjadi akibat AS, Eropa dan Jepang terlalu lama menunda-nunda keputusan sulit.

Note: Artikel ini merupakan sebagian dari makalah yang dipaparkan pada Seminar Nasional “Krisis Keuangan AS dan Eropa dan Dampaknya pada Perekonomian Indonesia” 19 September 2011, Le Meredien Hotel, Jakarta.

October 1, 2011 Posted by | Uncategorized | , , | Leave a comment