SMART Market

Inspiring for Smart Investing

Mengidentifikasi Tawaran Investasi Fiktif

Investasi berpotensi besar meningkat kesejahteraan dan  kualitas hidup dan kehidupan keluarga kita semua. Namun,  sampai dengan saat ini masih saja ada orang atau kelompok  tertentu yang tertipu dalam jumlah yang sangat besar karena  berinvestasi. Setelah diselidiki ternyata investasi yang  dilakukan hanyalah investasi fiktif yang berkedok perusahaan  profesional dengan berbagai promosi atau iklan yang sangat  menjanjikan. Pada umumnya perusahaan investasi fiktif tersebut menjanjikan keuntungan yang sangat tinggi (bahkan tidak masuk akal) dan dibayarkan melalui term jangka pendek seperti bulana atau kuartalan saja secara periodik. Nah atas dasar pengalaman inilah maka anda sebaiknya selalu waspada dan berhati-hati terhadap tawaran investasi fiktif tsb.

Agar kita tidak menjadi korban investasi fiktif atau bodong tersebut maka sebaiknya kita memiliki beberapa ciri-ciri atau karakter dari investasi jenis tersebut. Pemahaman yang baik terhadap dunia investasi tentunya akan membantu anda lebih cepat sekaligus tepat dalam memahami ciri-ciri produk investasi keuangan. Produk-priduk investasi  fiktif tidak pernah surut bahkan semakin banyak jenisnya dengan kualitas penipuan yang semakin canggih pula.

Beberapa Kasus Investasi Fiktif

Skandal terbaru adalah skandal Bank Century yang menjual reksadana fiktif yang laris manis karena menjanjikan imbal hasil yang tinggi. Para nasabah yakin karena yang menjual reksadana, Antaboga,  tampak sangat bonafid dan profesional. Selanjutnya kasus investasi fiktif tersebut bergulir menjadi skandal ekonomi-politik dengan dana bail out sebesar Rp. 6,3 triliun.  Selain itu, kasus investasi fiktif lainnya seperti PT Wahana Bersama Globalindo (WBG). Sekitar 10.000 nasabah WBG harus gigit jari perusahaan investasi ini kolaps. Akibatnya, ratusan juta dolar dana investasi mereka mereka pun raib tak berbekas. Para petinggi WBG juga sudah kabur. Selain kasus ini, tentu Anda ingat kasus POMAS, Qurnia Subur Alam Raya (QSAR), Sarana Perdana Indoglobal (SPI), dan masih banyak lagi (Kontan, 2009).

Bahkan di AS yang terkenal canggihpun sistem investasinya ikut kebobolan lewat produk investasi yang ditawarkan Bernard Madoff mantan petinggi SEC di Wall Street. Madoff menjaring para korbannya melalui skema ponzi alisa gali lubang tutup lubang yang rumit dan canggih. Terakhir, pada akhir 2009 aksi penipuan Ustadz Lihan dengan metode yang sama dibalut iming-iming keuangan syariah yang mencapai Rp.800 milyar.

Dengan demikian, agar anda tidak tertipu oleh beragam jenis investasi fiktif tersebut maka tentu kita harus mampu mengidentifikasi produk investasi bodong tersebut dengan tepat dan cepat. Yang harus anda cermati adalah:

Pertama, imbal hasil yang sangat tinggi.

Produk investasi fiktif pada umumnya selalu ditawarkan melalui konsep atau skema imbal hasil (return) tinggi yang tidak rasional menurut kaidah keuangan dan investasi. Misalkan menawarkan keuntungan dalam UD$ sebesar 25-30% pertahun atau 4 kali keuntungan wajarnya seperti yang dilakukan PT WBG atau Qsar menjanjikan investasi agribisnisnya memberikan imbal hasil 7-10% per bulan secara tetap atau 120% pertahun. Begitu pula aksi Ustadz Lihan yang menipu ribuan nasabahnya dengan cara yang hampir sama.  Nah, imbal hasil atau potensi keuntungan yang tinggi tersebut adalah umpan yang efektif dalam menjaring korbannya. Berpikirlah lebih rasional agar kita selamat dari jeratan investasi fiktif baik konvensional maupun berkedok syariah.

Kedua, berkedok Perusahaan Berjangka resmi.

Jenis ini menawarkan produk investasi melalui instrumen berjangka (future) luar negeri dengan keuntungan yang luar biasa, maka disarankan anda lebih berhati-hati. Saat ini banyak perusahaan investasi bodong berkedok perusahaan berjangka yang memiliki legalitas aspal belaka. Misalnya, jika ada perusahaan investasi menawarkan instrumen investasi melalui kontrak berjangka luar negeri – baik valas maupun indeks bursa asing – maka perusahaan tsb harus memiliki izin dari Badan Pengawas Perdagangan Bursa Komoditi (Bappebti). Selain itu, perusahaan itu juga harus memiliki izin dan menjadi anggota bursa berjangka yang ada di Indonesia, yakni: Bursa Berjangka Jakarta (BBJ).

Karenanya, jika ada perusahan menawarkan investasi di bursa berjangka, Anda harus meminta bukti izin mereka dari Bappebti maupun BBJ. Kalau perusahaan itu tidak bisa menunjukkan izin-izin tersebut, atau hanya bisa menunjukkan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) belaka – seperti PT. Wahana Bersama Globalindo (WBG) — kemungkinan besar perusahaan itu ilegal. Dalam kasus yang lain, dapat saja perusahaan fiktif mampu menunjukkan semua izin-izinnya. Namun sebaiknya anda melakukan pengecekan langsung ke Bappepti maupun BBJ.

Ketiga, berkedok Agen Penjual Reksadana.

Di samping produk berjangka, produk pasar modal seperti reksadana juga berpotensi untuk disalahgunakan oleh pelaku penipuan dengan berkedok manajer investasi (MI) legal. Produk reksadana mempunyai aturan sendiri. Menurut Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), orang yang menjual produk reksadana harus mengantongi izin Wakil Agen Penjual Reksadana (WAPER) dari Bapepam-LK. Karenanya, jika ada sales reksadana yang menawari Anda produk reksadana, apalagi dengan imbal hasil tinggi maka sebaiknya cek kembali apakah dia memiliki izin itu. Jika tidak, jangan mau membeli reksadana dari dia.

Keempat, berkedok Manajer Investasi (MI).

Sebagai pengelola reksadana, Manajer Investasi harus memiliki izin  resmi dari Bapepam-LK. Aturannya, MI juga tak boleh menerima dan menampung sendiri dana investornya. Dana dari investor tersebut harus disimpan di bank kustodian yang ditunjuk. Karena itu, ketika anda membeli produk reksadana, maka dana ditransfer ke rekening bank kustodian, bukan rekening MI. Maka apabila ada agen penjual reksadana itu meminta Anda untuk mentrasfer dana Anda ke rekening MI, atau bahkan rekening lainnya maka itu jelas-jelas menyalahi aturan.

October 9, 2009 Posted by | Investment Guide, Investment Tips | , , , , , , | 2 Comments

Global Junk Default Rate Hits 12%, Nears Expected Peak


The trailing 12-month global speculative-grade default rate finished at 12.0% in the third quarter of 2009, up from a level of 10.6% in the previous quarter and only 2.8% a year ago.

The U.S. speculative-grade default rate ended the third quarter at 12.9%, up from 11.5% in the second quarter, while in Europe the default rate rose to 9.3% from 6.4%. At this time last year, the U.S. and European default rates stood at 3.2% and 0.7%, respectively.

In all, a total of 50 Moody’s-rated corporate debt issuers defaulted in the third quarter, down from 89 in the first quarter and 83 in the second quarter. Last year, only 62 defaults were recorded in the first three quarters of the year.

For U.S. speculative-grade issuers, Moody’s forecasting model predicts that the default rate will peak at 13.5% in the fourth quarter before declining sharply to 4.4% by the third quarter of 2010.

Overall, the Automotive industry was the worst performer in the third quarter as seven companies in that sector defaulted. The Advertising/Publishing/Printing Media industry followed closely behind with six defaults. Across regions, 39 of the Q3 defaulters were based in North America while eight were from Europe. The remaining defaulters were domiciled in South America and Asia.

“Across industries over the coming year, Moody’s default rate forecasting model indicates that the Consumer Transportation sector will be the most troubled in the U.S. and the Durable Consumer Goods sector will have the highest default rate in Europe.”

Moody’s speculative-grade corporate distress index — which measures the percentage of rated issuers that have debt trading at distressed levels — stood at 28.1% at the end of the third quarter, down from 36.3% in the previous quarter. A year ago, the index stood at 26.8%.

Technorati Tags: 

October 9, 2009 Posted by | 1 | Leave a comment

Data Manufaktur dan Tenaga Kerja Memburuk, Wall Street Kian Terpuruk

(Vibiznews – Index) – Wall Street pada perdagangan hari ini (03/10) kembali berakhir melemah, dipicu oleh sentimen negatif dari sejumlah indikator ekonomi termasuk factory orders dan data tenaga kerja. Dow Jones melemah 21.61 poin, atau 0.23% ke level 9,487.67; S&P 500 merosot 4.64 poin atau 0.45% ke level 1,025.21; dan Nasdaq turun 9.37 poin atau 0.46%, ke level 2,048.11. Pekan ini, artinya Dow Jones merosot 1.8%, S&P 500 melemah 1.8%, dan Nasdaq anjlok 2%.

Sentimen negatif pertama kali datang dari data manufaktur yakni factory orders yang di luar dugaan melemah 0.8% pada bulan Agustus, setelah kemarin ISM manufaktur juga merosot. Sementara itu, sentimen negatif utama datang dari laporan bahwa perekonomian pada bulan September telah kehilangan 263,000 tenaga kerja, dan tingkat pengangguran melejit menjadi 9.8%. GE menjadi top loser pada Dow Jones, anjlok 3.82% ke level $15.36 setelah dilaporkan sedang bernegosiasi dengan Comcast yang akan membeli unit NBC Universal milik GE. Comcast juga melemah 2.7% ke level $15.24. Saham industrial lainnya juga melemah tajam, seperti Boeing turun 1.36% ke level $51.40 dan Caterpillar merosot 1.25% ke level $48.83. Sementara itu, saham CIT Group melejit hingga 10.4% ke level $1.17 menyusul berita bahwa merka akan meluncurkan rencana pertukaran utang demi menghindar dari kebangkrutan.

Menurut analisa dari Divisi Vibiz Research di Vibiz Consulting, pergerakan bursa AS dalam waktu dekat masih berpotensi untuk melemah, seiring dengan indikator ekonomi yang belum stabil , sehingga mengakibatkan investor untuk ragu terhadap pemulihan perekonomian. Rinella Putri/RP/vbn

October 3, 2009 Posted by | Market Analysis, News & Information, Stock Market | Leave a comment